Kamis, 20 Desember 2018

Kefir, Minuman untuk Menjaga Kesehatan Kita

JENIS minuman ini begitu dipuja hingga dijuluki the champagne of cultured milk atau minuman yang paling berharga di antara jenis susu fermentasi lainnya.

Kefir menjadi begitu berharga, terutama dilihat dari nilai nutrisi dan manfaatnya bagi kesehatan manusia. Sayangnya, kefir di Indonesia tidak sepopuler susu fermentasi lainnya, yakni yogurt. Kefir telah seabad lebih sangat populer di Rusia khususnya, lalu Eropa Timur dan Utara, dan belakangan juga populer di Amerika dan Jepang.

Di Jakarta saja masih sangat sulit mencari kefir di berbagai supermarket ataupun toko produk kesehatan. Meski demikian, konsumen kefir di Indonesia tetap ada dan umumnya membuat sendiri kefir tersebut sebab, seperti yogurt, kefir tidak sulit untuk dibuat sendiri. Secara global, pecinta kefir di dunia juga membentuk komunitas maya tersendiri dalam suatu situs di internet. Mereka tidak segan-segan memberikan biji kefir bagi siapa saja yang membutuhkan hanya dengan penggantian ongkos kirim.

"Saya mendapatkan biji kefir dari seorang teman, lalu bikin kefir sendiri. Umumnya orang yang bikin kefir dapat bibitnya dari tangan ke tangan seperti itu," tutur peneliti senior Balai Pengkajian Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Dr Ir Inggrid S Waspodo, MSc.

Kefir sebenarnya telah ribuan tahun lalu dikenal dalam peradaban manusia. Sebelum dikenal luas di Rusia dan Eropa, kefir bermula dari kawasan pegunungan Kaukasia, di perbatasan antara daratan Asia dan Eropa, sebelah tenggara Rusia. Berdasarkan legenda di Kaukasia, konon Nabi Muhammad yang pertama kali memberikan biji kefir kepada orang-orang setempat dan mengajari cara membuat minuman tersebut. Biji kefir kemudian dipredikati "the grains of the prophet".

Namun, legenda yang berkembang kemudian adalah jika biji kefir tersebut diketahui orang di luar kawasan dan minuman kefir menjadi pengetahuan luas, niscaya kekuatan mereka akan hilang. Oleh sebab itu, selama ratusan tahun, kefir menjadi misteri dan hanya dikonsumsi penduduk Kaukasia.

Baru pada awal tahun 1900, perkumpulan dokter Rusia bekerja sama dengan suatu perusahaan produsen keju menjalankan misi penting, yaitu memperoleh biji kefir untuk dibawa dan diproduksi di Rusia. Diutuslah seorang perempuan cantik bernama Irina Sakharova untuk membujuk Pangeran Kaukasia, Bek-Mirza Barchorov, demi mendapatkan biji kefir.

Meski sempat gagal, baru pada tahun 1908 misi yang diemban Irina tersebut berhasil. Tahun 1973 pada usianya yang 85 tahun Irina mendapatkan penghargaan dari Menteri Industri Pangan Uni Soviet ketika itu atas jasanya membawa kefir bagi rakyat Rusia. Kefir kini boleh dibilang bagian dari budaya kuliner orang Rusia. Kefir tak hanya digunakan sebagai minuman, tetapi juga menjadi bahan untuk berbagai penganan.

Meminum kefir secara berkesinambungan, menurut sejumlah penelitian, sangat bermanfaat bagi kesehatan. Tubuh yang senantiasa sehat tentu saja menimbulkan perasaan yang nyaman.

"Kefir terbuat dari susu yang difermentasi oleh biji kefir pada suhu ruangan. Yang dimaksud biji tersebut sebenarnya bukanlah seperti biji tanaman. Namun, dia merupakan suatu massa yang terdiri dari bakteri-bakteri asam laktat, khamir (ragi), serta gula polisakarida yang disebut kefiran," tutur Inggrid. Biji kefir berbentuk butiran-butiran berwarna putih seukuran biji gandum hingga biji kenari.

Beberapa bakteri baik yang terkandung di dalam biji kefir, antara lain, adalah Lactobacillus acidophilus, Lb kefiri, Lb kefirgranum, Lb parakefir, Lb delbrueckii supbsp. bulgaricus, Lb fructivorans, Lb kefiranofaciens, dan Lactococci. Bakteri-bakteri tersebut bersama dengan khamir bekerja sama secara simbiosis. Bakteri asam laktat tersebut menghasilkan asam laktat yang merangsang pertumbuhan khamir. Sementara khamir menghasilkan faktor pendukung pertumbuhan bakteri asam laktat.

"Polisakarida larut air yang disebut kefiran dihasilkan bakteri asam laktat. Kefiran inilah yang berperan dalam meningkatkan pembentukan sistem imun dalam tubuh," kata Inggrid menambahkan.

Bahan susu yang dapat dibuat menjadi kefir bisa bermacam-macam, mulai dari susu sapi, susu kambing, domba, hingga unta. Macamnya pun bisa dari susu organik, susu rendah lemak, juga susu skim. Pada awal pembuatannya, susu tersebut harus dipasteurisasi atau dipanaskan, kemudian dalam suatu wadah bersih seperti toples, susu didiamkan hingga suhu ruang. Baru kemudian biji kefir dimasukkan ke dalam susu tersebut dan toples bisa ditutup dengan lap basah yang bersih.

Proses fermentasi tersebut bisa dibiarkan berlangsung selama 24 sampai 48 jam. Setelah itu kefir disaring untuk memisahkan butiran biji kefir yang terbentuk, dan bisa digunakan lagi untuk membuat kefir baru. Sebagai penambah cita rasa bisa ditambahkan berbagai macam bahan lain, seperti madu dan buah-buahan. Rasa yogurt agak berbeda dengan kefir yang berasa asam segar, berkarbonat, dan mengandung alkohol 0,08-2 persen, masih lebih sedikit ketimbang tape. Seperti halnya tape, alkohol terbentuk karena adanya khamir (ragi) pada massa biji kefir.

Kandungan gizi kefir sama dengan gizi bahan susu. Kefir kaya akan kalsium, asam amino, vitamin B, dan asam folat. Manfaat meminum kefir secara konsisten dapat menghindari risiko terkena kanker kolon, memperlancar buang air besar, menurunkan kadar kolesterol, mengurangi risiko penyakit jantung koroner, mencegah infeksi saluran urine, hingga merangsang pembentukan sistem imun atau kekebalan tubuh.

"Bakteri asam laktat dalam kefir bisa menjadi sumber probiotik, namun tergantung galur dari jenis bakterinya. Sebagai probiotik, dia bermanfaat menekan populasi bakteri patogen di dalam saluran pencernaan," tutur Inggrid.

Bagi orang yang saluran pencernaannya tidak bisa mencerna susu atau lactose intolerance, kefir dapat menjadi alternatif sebab sebagian besar laktosa pada susu telah terpecah-pecah oleh bakteri asam laktat sehingga lebih mudah dicerna penderita. Kefir juga baik diminum oleh anak-anak, wanita hamil dan menyusui, dan orang lanjut usia.

Sampai sekarang, secara ilmiah, tidak dapat diketahui pasti dari mana bisa muncul biji kefir. "Di dunia ini memang banyak sekali mikroba, dan kemungkinan mereka saling bersimbiosa sangat besar. Seperti juga halnya jamur tempe, asal-muasal pertamanya kan tidak diketahui," ujar Inggrid

Sumber: Kompas.com

Tips untuk Menghindari Alergi pada Anak


Tahukah Bunda jika ternyata telur dan kacang disebut sebagai makanan penyebab alergi. Tapi jangan takut, jika kedua jenis makanan tersebut diberikan pada si kecil sejak usia dini, risiko alerginya lebih rendah.

Analisis terbaru yang diterbitkan dalam Journal of American Medical Association (JAMA) menyebutkan bahwa ketika bayi mengonsumsi makanan jenis tertentu yang sebabkan alergi di awal kehidupan dapat mengurangi dampak terjadinya alergi pada anak di kemudian hari.

Ini adalah pemikiran yang relatif baru. Pada tahun 2000, American Academy of Pediatrics merekomendasikan bahwa makanan alergi sebaiknya dijauhkan dari bayi hingga mereka berusia setidaknya satu tahun bahkan lebih. Peringatan ini sangat kuat bagi mereka dengan riwayat keluarga alergi.

Akan tetapi, bukti terbaru telah menunjukkan bahwa memperkenalkan makanan terutama telur dan kacang lebih baik untuk mencegah alergi makanan. Para peneliti dari studi yang baru saja dipublikasi ini meninjau sekitar 146 studi dalam ananalisis akhir mereka.

Dikutip dari Time (20/09), mereka menemukan bukti "kepastian moderat". Kacang diperkenalkan sejak awal usia 4 hingga 11 bulan berhubungan dengan penurunan risiko pengembangan alergi pada kacang. Telur juga menunjukkan hubungan yang sama ketika mereka diperkenalkan saat usia 4 dan 6 bulan.

Selain itu, pengenalan lebih awal terhadap alergen umum lainnya seperti ikan juga terkait dengan rendahnya risiko alergi. Pengenalan sejak dini tidak membuat perbedaan untuk penyakit autoimun dan konsumsi gluten tidak terkait dengan risiko pengembangan penyakit celiac.

Peneliti masih menindak lanjuti temuan ini. "Belum jelas bahwa apakah pengenalan awal tertentu dari sebuah makanan alergi dapat membuat perlindungan imunologi, daripada peningkatan keragaman yang menyertai dalam diet," tulis Dr Matthew Greenhawt, spesialis alergi dan imunologi di Children's Hospital Colorado.    (lus/odi)